SCREENING , Discussion and art TALK

SCREENING , Discussion and TALK @ Platform3-Bandung
(Gratis / Free Admission)

“ COLLECTORS : Collecting Art “

Jumat/ Friday: 25 Mar, 16.00 screening I: “Herb & Dorothy”

Sabtu /Saturday : 26 Mar, 16.00 screening II: “Mona Lisa Curse”,

Dilanjuti dengan Diskusi / Following by Discussion : Adi Wicaksono (Art Critics) and Mr. Eddy Hartanto (Collector), Moderated by Agung Hujatnikajenong/Heru Hikayat

Dalam diskusi setelah pemutaran film-film ini, selain diarahkan pada komentar tentang situasi di New York sana, pembicaraan juga diharapkan merefleksikan keadaan medan sosial seni rupa kita. Dalam diskusi-diskusi menyangkut medan sosial seni, tampaknya semua elemen medan sosial kita mengeluhkan tentang kacaunya medan. Jika semua elemen mengeluh, maka perbaikan bisa mulai dari mana? Apakah kita butuh “martir” seperti Vogel untuk membangkitkan semangat yang berorientasi pada perkembangan? Apakah pengaruh reproduksi citra pada pembentukan selera dalam pasar seni kita? Perilaku pengoleksian macam apa yang kondusif bagi perkembangan seni kita sekarang ? (deskripsi terlampir dibawah)

ART TALK
“EXCHANGED SIGNS”

Minggu/Sunday:  27 Mar,  10.00 by Wiyoga Muhardanto

Karya-karya perupa Wiyoga Muhardanto (lahir: 1984) sejak beberapa tahun terakhir menunjukan penjelajahan artistik yang menarik, dengan menampilkan objek-objek site-spesifik berupa benda – benda keseharian dari resin. Objek-objek tersebut justru tidak menunjukan identitas sebagai sebuah karya seni secara konvensional, tetapi ‘menyelinap’, ‘menyamar’, ‘mengecoh’ sebagai benda yang lazim hadir dalam suatu konteks ruang pameran tertentu. Seperti; hidangan diatas meja, karang bunga, telepon genggam, tembok galeri, packing lukisan dan kotak kardus dan lainnya. Wiyoga akan membicarakan gagasan-gagasan dibalik karyanya, dan tentunya bagaimana posisi publik terhadap perilaku karya semacam ini?

Platform3

Jl. Cigadung Raya Barat no. 2

Bandung 40191

mail.platform3@gmail.com

https://infoplatform3.wordpress.com/

Telp/Fax : 022 – 8252.2652

Deskripsi

Screening 1
“Herb & Dorothy”
Sutradara: Megumi Sasaki
Dokumenter
Produksi Art House Film, 2008, 01:27:16 Min.

Film ini bertutur tentang pasangan Herbert dan Dorothy Vogel yang tinggal di New York. Herb, saat film ini dibuat sudah pensiun dari dinas pos AS, sementara Dorothy pensiunan pegawai perpustakaan umum. Dengan kata lain, mereka berdua adalah pegawai negeri kelas menengah. Tidak ada yang istimewa pada pasangan ini, selain sejak 5 dekade lalu mereka konsisten menjadi kolektor karya-karya seni kontemporer. Sebutan kontemporer di sini kiranya menunjuk pada pilihan mereka untuk selalu mengoleksi karya-karya “cutting edge”, karya-karya eksperimentatif, pelopor jalan baru, dari seniman-seniman relatif muda.
Ketika mereka memulai mengoleksi, di awal 1960an, karya “cutting edge” saat itu adalah Minimalisme kemudian disusul Conceptual art. Alasan pasangan Vogel membeli karya-karya cutting edge, sesungguhnya berhubungan dengan alasan yang sangat teknis: budget mereka. Mereka tidak mampu membeli karya seni yang mahal dan besar. Apartemen mereka terlalu kecil untuk menampung koleksi berukuran besar, dan penghasilan mereka standar pegawai negeri. Saat mereka memulai mengoleksi, Pop Art telah menyandingi Abstrak-Ekpresionisme di papan atas seni Amerika Serikat. Mereka tak mampu membeli karya-karya langgam ini. Bukan berarti mereka tidak pilih-pilih. Mereka justru sangat pilih-pilih. Mereka rajin menelusuri perkembangan kekaryaan tiap seniman, hingga bisa memilih karya yang tepat.

Masuk dekade 1980an, terbukti pilihan mereka tepat. Seniman-seniman yang mereka koleksi karyanya menjadi seniman penting di papan atas seni di AS. Bagi mereka yang mengenal sejarah seni barat, akan kagum melihat jajaran seniman itu: Robert Rauschenberg, Carl Andre, Sol Le Witt, Donald Judd, Robert Barry, hingga Christo juga Chuck Close, untuk sekedar menyebut beberapa nama. Sontak pasangan Vogel terkenal, diwawancara koran dan tivi, koleksi mereka dipamerkan di berbagai galeri, dan tentu saja banyak kolektor yang ingin membeli karya-karya dalam koleksi mereka. Dengan kata lain, koleksi mereka meningkat pesat nilainya.

Setelah terkenal beberapa lama, pasangan Vogel memilih untuk menghibahkan koleksi mereka ke galeri nasional di Washington DC. Saat galeri nasional menginventarisir koleksi mereka, terdata lebih dari 3000 karya. Galeri di Washington hanya mampu menampung 1000 karya, selebihnya disalurkan ke galeri-galeri negara bagian. Alasan mereka memilih menghibahkan koleksi-koleksi mereka ke galeri nasional adalah, galeri nasional milik negara, hingga karya-karya tersebut terjamin aksesibilitasnya oleh umum.

Screening 2
“The Mona Lisa Curse”
Ditulis dan dinaratori oleh Robert Hughes
Sutradara: Mandy Chang
Produksi Oxford Film & Television, 2008, 1:15:09 (min)

Film ini ditulis dan dinaratori oleh Robert Hughes, seorang kritikus seni yang telah berkarier lebih dari 50 tahun, kini tinggal di New York. Narasi Hughes membagi dua jaman dalam perkembangan seni: jaman ketika orang membeli karya seni bukan untuk investasi, dan jaman orang berlomba-lomba membeli karya seni untuk investasi.  Di jaman pertama, Hughes menganggap ikonnya adalah pasangan Vogel. Pada dekade yang kurang lebih sama saat Vogel memulai mengoleksi karya-karya seni, ada satu lagi figur kolektor di New York: Scull. Scull, pengusaha taxi, adalah orang yang mula-mula menyelenggarakan lelang koleksi-koleksi pribadinya. Dalam lelang itu, harga tertinggi adalah USD 400.000.

Hughes tidak menunjuk kesuksesan Scull sebagai biang dari kelakuan kolektor yang membeli karya seni sambil berharap di kemudian hari akan dapat keuntungan berlipat. Ia justru menunjuk kedatangan lukisan Mona Lisa di AS. Tahun 1962 Mona Lisa dipamerkan di Washington. Tak kurang dari Presiden Kennedy sendiri yang meresmikan pameran. Sejak kapal yang mengangkut Mona Lisa merapat di New York, orang-orang sudah mengerubutinya. Saat pameran, tiap hari orang rela mengantri lama. Mona Lisa memang tenar, tapi ketenaran yang terlalu dirayakan memunculkan perilaku yang satu ini: “tiap orang ingin memiliki “Mona Lisa”-nya sendiri. Inilah biang keladi pemunculan jaman kedua, menurut Hughes.

Saking tenarnya Mona Lisa, orang melihat Mona Lisa bukan untuk melihat, melainkan supaya bisa mengklaim “saya pernah melihatnya” (semua orang sudah tahu rupa Mona Lisa tanpa pernah melihatnya langsung). Kehadiran di depan karya seni jadi kurang penting, yang penting adalah klaim yang bisa dilontarkan. Hughes kemudian mengumbar kegelisahannya, karena karya-karya seni yang jadi buah bibir bukan lagi karya yang punya punya posisi penting dalam sejarah, melainkan karya yang harganya tinggi. “Apakah sejarah seni hari ini ditulis dengan buku cek?”, demikian ungkap Hughes.


PLATFORM3 is an initiative space with focus activities on exhibition and artist in residence programs. In holding its activities, PLATFORM3 attempts to develop artist’s thematic and artistic ideas through intense discussions. All exhibitions held by PLATFORM3 underline every artist’s statement as the most important aspect.

PLATFORM3 is initiated by three curators: Aminudin TH Siregar, Rifky Effendy and Agung Hujatnikajennong; and three artists: J.A. Pramuhendra, Radi Arwinda and Wiyoga Muhardanto. While Heru Hikayat, Herra Pahlasari and Inen work as operational managers.

URL: https://infoplatform3.wordpress.com/

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s